Tradisi Lebaran di Kampung Halaman
- Kamis, 25 Juli 2019
- Mardianis
- Dilihat 2248 kali
Anies Piliang itu nama panggilanku. Kalau dilihat sekilas pasti banyak yang tahu, aku berasal dari Sumatra Barat. Piliang itu salah satu suku yang terkenal di Sumbar. Jangan salah ya! Kalau di Sunda suku itu berarti kaki, jauh sekali ya bedanya. Ya, itulah Indonesia. Penuh dengan keberagaman. Unik, bahasa, suku, maupun budayanya.
Siapa yang tidak kenal dengan Sumatra Barat? Saya yakin banyak yang mengenal bahkan mungkin sudah pernah berkunjung ke sini. Selain terkenal dengan daerah wisata yang memesona, elok sedap dipandang mata, Sumbar juga dikenal dengan kulinernya yang aduhai. Kuliner beraneka ragam bentuk dan rasa menggoda setiap pengunjung yang datang.
Heeemm... rendang yang menggoyang lidah, memanjakan selera masyarakat tidak hanya Indonesia bahkan sudah mendunia. Percaya atau tidak? Ayo silakan mengecek sendiri.
Walau akau berasal dari Sumatra Barat, tetapi lebih dari separuh usiaku telah aku habiskan di Tanah Sunda tepatnya Kota Bogor, Jawa Barat. Kata orang-orang, air Bogor itu manis (memangnya teh atau kopi campur gula 3 sendok), bila sudah minum air Bogor akan ketagihan atau bikin betah berlama-lama di Kota Bogor (tak mau pulang, tak mau pulang).
Aku terombang-ambing di Tanah Sunda ini sudah 27 tahun lamanya. Namun, tidak pernah terbersit di hati untuk melupakan kebiasaan atau tradisi cinta kampung halaman. Apalagi saat-saat terindah, yaitu mudik. Pulang kampung ketika lebaran tiba itu sesuatu. Alhamdulillah, Allah berikan rezeki untuk bisa mudik menengok kampuang halaman nan jauh di mato dakek di hati.
Hampir setiap tahun. Mudik sudah menjadi tradisi bagi para perantau. Meskipun kondisi keuangan morat-marit, mudik tetap menjadi moment terindah, tidak bisa dibahasakan. Karena kebahagian itu bukanlah diukur dengan uang atau materi. Berkumpul bersama, menjalin tali silaturahmi itulah kebahagiaan yang hakiki. Bila sudah berkumpul dengan keluarga jadi lupa semuanya. Utang telur 2 kilo di Warung mas Yogi abaikan dulu. Administrasi sekolah yang harus dikumpulkan sebelum tahun ajaran baru abaikan dulu, serta tetek bengek yang lai lupakan dulu.
Tiba di kampung halaman disambut dengan tangis mengharu biru. Salam takzim dan pelukan hangat penuh cinta kasih dari seluruh saudara serta sanak famili. Berpelukan mesra menggambarkan rasa suka cita yang dalam. Tidak hanya itu, segala menu khas kampung sudah menunggu untuk disantap. Heemm..seperti musafir yang mendapat air di gurun pasir.
Malam takbiran pun tiba. Suasana malam ini tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain. Ada takbir keliling sampai pagi. Dulu dimeriahkan dengan dentuman meriam yang terbuat dari bambu. Seiring berjalannya waktu kebiasaan itu pun memudar bahkan sudah jarang ditemukan. Sekarang tergantikan oleh indahnya petasan dan kemeriahan kembang api. Meski dilarang, ada saja warga yang sembunyi-sembunyi menjual demi meraup keuntungan. Mumpung lebaran, mumpung banyak orang rantau yang pulang, mumpung, mumpung, dan mumpung lagi.
Ada lagi yang berbeda dengan kebiasaan di Bogor, mungkin juga daerah lainnya. Kalau di Bogor pukul 07.00 sudah selesai shalat Ied. Kebiasaan di kampung, sebelum shalat Ied ada pengumpulan infak. Nah, para pemuka negeri yang ditunjuk sebagai pemimpin pengumpulan infak dengan piawai akan mampu mengocek isi dompet jamaah sehingga keluar sampai kekerak-keraknya. Kadang ada batas infak yang diinginkan. Bila belum mencapai target, kembali kota infak diedarkan, masih kurang diputar lagi. Alih-alih selesai shalat Ied pukul 10.00.
Setelah sholat ied selesai, para saudara datang berkunjung. Serta tidak ketinggalan tetangga terdekat. Saling bersalaman, mohon maaf lahir dan batin, kembali fitri bersih, suci dari noda. Tamu yang datang tidak hanya disuguhkan kue atau cemilan lainnya. Melainkan diwajibkan untuk makan walau hanya sesuap atau dua suap. Mengunjungi 5 rumah bisa jadi 5 kali makan, perut bak buntalan Malin menuju rantau. Demi menghargai tuan rumah. Menu setiap rumah itu hampir sama. Rendang sudah pasti ada (ciri khas), Asam padeh yang tak kalah lezat, lamang tapai, galamai (dodol), kubang merah dan putih, dll. Kadang ketupat juga ikut menghiasi suasana lebaran.
Sepulangnya, anak-anak dibekali dengan angpao. Betapa senang dan bahagianya raut-raut wajah mereka. (Kalau di kampung sering juga disebut menambang) mencari rezeki dari pintu ke pintu.
Pulang bertamu Si Ibu bertanya, Nak, berapa hasil nambang kamu hari ini?” “Alhamduliiilah, banyak Bu! Nanti belikan Adek hp keluaran terbaru ya Bu, Hp yang ada game mobile lengend, kan lagi viral” celetuk Si anak tanpa titik dan koma. Aduh! Si Ibu nepok jidat spontan.
Ada kebiasaan pasangan suami istri yang baru menikah disebut manjalang mintuo. Manjalang mintuo ini sebuah tradisi membawa hantaran makanan, lauk, serta cemilan ke rumah mertua. Hantaran ini disusun dalam sebuah dulang, dibungkus dengan taplak meja segi empat kemudian di atasnya ditutupi dengan delamak (delamak: kain penutup tudung saji yang bersulam benang emas). Pasangan suami istri yang sudah lama menikah tetap melakukan kebiasaan ini tetapi auranya tidak sama seperti pengantin baru. Kadang hanya membawa hantaran sekadarnya dan hanya menggunakan rantang. Intinya silaturahmi
Semoga tradisi-tradisi ini tetap bertahan dan lestari sepanjang masa. Karena perbedaanlah yang membuat kita bersatu padu dalam negeri yang satu Indonesia.